Berbagi Itu Indah, Sharing Lebih Keren? - Ulas Bahasa -->

Berbagi Itu Indah, Sharing Lebih Keren?

Post a Comment

“Katanya, berbagi itu indah. Lah, kok, sukanya sharing, sih?”

 

berbagi itu indah

Dalam percakapan sehari-hari, banyak orang suka mengucapkan istilah ngeshare dan sharing. Di media sosial pun para penggunanya gemar menuliskan kedua kata itu.

Ketika komunikasi dilakukan dalam bahasa Inggris, “pemilik sah” kata sharing yang sesungguhnya, tentu kita sangat memakluminya. Demikian pula jika orang bermedia sosial dalam komunitas internasional, penggunaan bahasa yang diterima warga dunia tentu sah-sah saja.

Namun yang banyak saya dapati justru komunikasi berlangsung dalam lingkup domestik. Obrolan, baik daring maupun luring, terjadi antar warga negara Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.

Baik dalam pertemuan resmi maupun obrolan warung kopi, pemakaian kata sharing acap terjadi. Pun di ruang-ruang obrolan—sepertinya istilah obrolan enggan bersaing dengan kata chatting—daring semacam Whatsapp atau grup Facebook.

“Coba, saya minta salah seorang di antara Saudara sharing mengenai materi training yang baru Saudara ikuti minggu lalu.”

Ucapan seperti ini kerap disampaikan seorang bos di ruang rapat (atau ruang meeting?) kantor. Seusai mendengar perintah pimpinannya, seseorang akan berbagi pengetahuan yang baru diperolehnya dalam pelatihan.

“Eh, aku mau ngeshare video bagus, nih!”

Nah, kalimat-kalimat semacam ini, tentu lazim kita temukan di media sosial yang kita ikuti. Biasanya anak-anak muda suka membagikan konten-konten menarik melalui media sosial.

Istilah Share Telah Beranak Pinak

Saking termasyhurnya istilah sharing dan ngeshare, kedua kata itu sampai beranak pinak menghasilkan sekian banyak kata turunan. Sebut saja misalnya di-share, men-sharing-kan, sharing-sharing, dan sebagainya.

Mengamati konteks kalimat yang acap digunakan, saya menduga kata ngeshare artinya membagi. Terdapat beberapa versi pemaksaan istilah ini dalam percakapan sehari-hari, misalnya menshare dan mengeshare.

Luar biasa, kan. Sampai-sampai istilah seperti sharing-sharing bisa unjuk gigi. Ya, tampaknya sharing-sharing adalah versi “keren” yang bakal menyingkirkan kata membagi-bagikan.

Kenyataan itu lantas memunculkan sebuah pertanyaan dalam hati, “Benarkah berbagi itu indah?”

Kalau dilihat makna katanya, saya meyakini sebagian besar orang sepakat dengan ungkapan itu. Berbagi (hal-hal baik) tentu saja perbuatan indah dan mulia.

Namun, ketika kita bicara tentang “rasa”, saya meragukan indahnya berbagi. Kita bisa melihat dalam beberapa contoh, kata berbagi tampaknya tak membangkitkan rasa bangga bagi sebagian orang sehingga mereka memilih menggunakan kata lainnya.

Barangkali istilah berbagi tak cukup mentereng dibandingkan “rival”-nya yang datang dari negeri seberang. Sepertinya, ketimbang berbagi, kata sharing lebih menimbulkan sensasi yang gimana gitu.

Memang Berbagi Itu Indah, Tetapi ...

Saya merasa amat beruntung jika sesekali manemui orang (Indonesia) masih berkenan menggunakan kata berbagi dan membagikan. Kedua kosakata itu kini seakan-akan menderita sindrom rendah diri dan telah kehilangan “wibawa”.

Begitulah kejadian yang banyak kita saksikan di sekitar kita. Percakapan yang tidak diselipi istilah-istilah dari mancanegara seolah-olah bukan percakapan yang pantas dimunculkan.

Bukan kata berbagi dan membagikan saja yang nyaris dilupakan orang. Banyak lagi kosakata bahasa kita yang harus bergeser ke tepi lantaran tak sanggup bersaing dengan istilah-istilah “keren” yang datang dari benua lain.

Semakin hari kian banyak kosakata yang akhirnya sekadar menjadi penghias bausastra. Sebagian di antara kata-kata itu benar-benar tak pernah lagi menyambangi kita.

Apa mungkin suatu saat kelak, kamus bahasa Indonesia akan berubah haluan?

Bila makin banyak kosakata yang tidak lagi digunakan, barangkali nasib KBBI bakal mengenaskan. Kamus ini hanya akan menjadi museum tempat menyimpan istilah-istilah antik yang tak laku di “pasaran”.

Silakan baca artikel yang membahas manfaat menggunakan kosakata langka.

Analogi yang saya tampilkan di atas memang terlalu mengada-ada. Mohon maaf, saya hanya mengungkapkan rasa sedih dan khawatir menyangkut nasib banyak kosakata bahasa kita yang tak punya masa depan.

Di Mana Letak Indahnya Berbagi?

Beberapa waktu silam, pemerintah melalui Badan Bahasa mencanangkan proyek besar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

Berdasarkan jumlah penuturnya yang terdata sebanyak 199 juta jiwa, bahasa Indonesia menempati peringkat ke-11 dunia. Peringkat ini bisa naik lagi mengingat jumlah penduduk Indonesia sekitar 269 juta jiwa berpotensi menjadi penutur bahasa Indonesia.

Selain itu, ada beberapa faktor lain yang bisa menambah jumlah penutur bahasa persatuan kita itu. Kini, bahasa Indonesia telah tersebar di 47 negara. Bahkan, bahasa Indonesia menjadi program studi yang diajarkan di 52 negara.

Dengan beberapa fakta di atas, kira-kira, bagaimana peluang bahasa Indonesia mendunia? Bolehkah kita berharap suatu saat nanti bakal banyak warga dunia bertutur menggunakan bahasa kebanggaan kita?

Tentu bukan pekerjaan gampang mendorong bahasa kita tampil di pentas dunia. Dalam percaturan domestik saja kita masih harus menghadapi tantangan besar.

Para pemilik bahasa Indonesia sendiri justru gemar mengganti istilah-istilah dalam bahasa sendiri dengan ungkapan-ungkapan yang berasal dari negara lain. Sebuah ironi, ketika kita berharap bahasa kita digunakan warga dunia, warga kita sendiri enggan memakainya.

Tentu saja banyak faktor lainnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Namun, memulai sesuatu dari hal kecil adalah langkah bijaksana yang bisa segera kita lakukan.

Ada Kabar Gembira, Kata Berbagi Makin Digemari Masyarakat Indonesia

Ketika sedang menelusuri Google, si mesin pencari paling mumpuni di seantero bumi (meskipun kabarnya mulai tersaingi oleh kehadiran ChatGPT), saya menemukan data yang menarik hati. Sekumpulan data ini mampu membikin saya agak tercengang.

Data yang saya temukan mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia terlihat semakin gemar berbagi. Bukan hanya berbagi dalam arti perbuatan yang menunjukkan sikap toleransi, tetapi juga berbagi di ranah bahasa.

Biar jelas, mari kita cermati gambar beserta penjelasannya berikut ini.

1. Periode “kejayaan” sharing

 

penelusuran berbagi dan sharing 19 tahun

Grafik frekuensi penelusuran kata berbagi dan sharing sejak 2004. Sumber data: trends.google.co.id

Grafik di atas menunjukkan “kenyataan pahit” yang harus kita terima dengan lapang dada. Sejak awal 2004 hingga pertengahan 2016, berbagi harus “takluk” pada “keperkasaan” sharing dalam hal frekuensi pencarian melalui Google.

Pada periode ini, minat orang (Indonesia) mencari kata kunci sharing jauh di atas berbagi.

2. Periode “persaingan keras”

 

penelusuran berbagi dan sharing 5 tahun
Grafik frekuensi penelusuran kata berbagi dan sharing sejak 2018. Sumber data: trends.google.co.id

Jika kita mengamati gambar di atas, tampak persaingan antara sharing dan berbagi yang berjalan cukup keras. Mulai pertengahan 2016 sampai dengan awal Maret 2020, frekuensi pencarian kata berbagi dan sharing di internet bersaing ketat.

Dalam beberapa periode, minat orang menelusuri kata berbagi lebih tinggi ketimbang sharing. Namun, dalam rentang waktu yang lain, sharing terlihat berada di atas angin.

3. Periode “kebangkitan” berbagi

 

penelusuran berbagi dan sharing 1 tahun
Grafik frekuensi penelusuran kata berbagi dan sharing sepanjang tahun 2022. Sumber data: trends.google.co.id

Akhirnya, sepercik cahaya mulai menyinari bumi.

Kita bisa melihat, sejak pertengahan Maret 2020 hingga menjelang akhir Januari 2023 merupakan periode yang ”kita nanti-nantikan”. Dalam waktu hampir tiga tahun terakhir ini, kata berbagi nyaris membikin sharing “tak berkutik”.

Data pencarian di mesin pencari Google menunjukkan bahwa frekuensi penelusuran kata berbagi selalu lebih tinggi dibandingkan pencarian kata sharing.

Dari sini, kita bisa mulai merasa optimis lantaran merasakan kesan “lemah”-nya kata berbagi tak terlihat lagi.

Silakan baca tulisan mengenai penggunaan istilah veter yang tak mampu “menggusur” tali sepatu.

Memang pencarian kata kunci di internet bukan segalanya. Mungkin juga data yang terekam di mesin pencari tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Namun, saya melihat data itu menyiratkan sebuah harapan. Tidak selamanya istilah domestik kalah bersaing dengan istilah yang berasal dari bahasa asing.

Kembali kepada kegelisahan yang muncul di awal tulisan ini. Apakah kini ungkapan “berbagi itu indah” bisa dimaknai masyarakat Indonesia mulai menyukai istilah dalam bahasa sendiri?

Artikel Terkait

Post a Comment