Ulas Bahasa
  • Beranda
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan
    • Sangkalan (Disclaimer)
    • Kebijakan Privasi
  • Artikel
    • Asal Kata
    • Inspirasi Bahasa
    • Istilah Asing
    • Kalimat
    • Kosakata
Diberdayakan oleh Blogger.

 

ilustrasi artikel pilih kartu member koperasi atau kartu anggota anu mart

“Ada Kartu Member-nya, Pak?” Hampir tiap kali saya hendak membayar belanjaan, kasir Anu Mart menanyakan perihal kartu member itu.

Terakhir kali terjadi beberapa hari yang lalu. Seorang kasir kembali melakukannya kepada saya.  Saya yakin, ia melakukannya juga kepada semua orang yang datang.

Ia laksana menyetel kaset yang selalu diputar ulang setiap ada konsumen berdiri di hadapannya. Ketika itu, saya menyorongkan sebungkus kopi bubuk dan seplastik butiran coklat kepadanya.

Sudah tentu saya menjawab “tidak” untuk pertanyaan si kasir. Masa sih, ada yang namanya kartu member? Kalau member card mungkin ada. Atau kartu anggota,  mestinya banyak.

Eh, nggak mungkin juga kali. Kartu anggota dibikin hanya untuk anggota Koperasi. Atau jenis-jenis usaha dan organisasi tradisional lainnya.

Sementara itu, bagi pelanggan setia Ini Mart, Itu Mart dan Mart-Mart yang lain, tentu berbeda kartunya. Mereka layak mendapatkan kartu member.

Aduh, kok malah jadi ngelantur. Saya menjawab “tidak” karena saya memang tidak memiliki kartu yang dimaksudkan oleh si kasir. Sejak sebelum tiba di depan kasir pun, saya sudah menduga bakal mengucapkan kata itu.

Sepertinya antara kasir macam-macam Mart dan para konsumen mereka telah sama-sama menyiapkan “rekaman” ucapan masing-masing ketika saling berhadapan.

Baca juga: NasibPedestrian yang Serupa dengan Busway

Bolehkah Kartu Anggota Koperasi Diganti Kartu Member ?

Kalau sudah begini, saya langsung teringat kepada seorang mantan teman sekantor saya. Beberapa tahun silam, ia pernah menawari saya menjadi anggota koperasi karyawan.

Ia mengiming-imingi saya dengan salah satu sisi bisnis Koperasi yang diberi nama Sisa Hasil Usaha alias SHU. Keuntungan Koperasi yang disebut SHU itu akan dibagikan kepada seluruh anggota setiap tahun sesuai dengan tingkat kontribusi masing-masing anggota.

Saya pikir asyik juga tiap tahun menerima SHU. Bisa menambah uang saku. Selain itu, menjadi anggota Koperasi juga bisa turut berpartisipasi membangun saka guru perekonomian Indonesia itu.

Namun letak permasalahannya bukan di situ. Boleh nggak, pada kartu anggota Koperasi dicantumkan judul “Kartu Member”? Biar keren dikit lah! Tidak kalah dengan kartu member Mart-Mart yang keren-keren itu.

Memangnya Koperasi tidak cukup bergengsi sehingga para anggotanya tidak pantas mendapat gelar “member”? Apakah terdapat aturan yang menyebutkan bahwa predikat “member” hanya boleh disematkan bagi pelanggan Ini Mart dan Itu Mart?

Padahal dalam kamus jelas-jelas disebutkan bahwa kata “member” diterjemahkan sebagai “anggota”. Saya juga tidak menemukan adanya ketentuan yang mengatur penggunaan sebutan “anggota” atau “member” mengikuti bentuk usaha yang dijalankan.

Mengapa seolah-olah ada keistimewaan suatu bentuk usaha tertentu yang bisa menggunakan sebutan “member” bagi anggota-anggotanya? Sedangkan bentuk usaha lain hanya bisa memakai istilah “anggota” untuk menyebut para member-nya?

Terjadi Juga pada Sisi Pemilik Usaha

Keheranan saya terkait dengan penyebutan istilah-istilah dalam dunia usaha melebar ke sisi pemilik usaha. Pada sisi ini juga terdapat “diskriminasi” penggunaan istilah-istilah tertentu.

Pernah dengar nggak, orang menyebut pemilik warung kopi dengan sebutan owner? Halah, ada-ada saja. Pemilik warung kopi atau warung burjo ya namanya tukang warung. Gitu aja kok repot!

Yang saya maksud pemilik warung kopi atau warung burjo tentu saja orang-orang yang membuka lapak di pinggir jalan atau di teras rumah mereka. Lain cerita kalau warungnya berada di lingkungan hotel atau pusat perbelanjaan modern. Lagi pula, yang berada di tempat-tempat modern tentu bukan warung namanya.

Sebutan owner sepertinya hanya pantas disandang pemilik usaha besar dan tentu saja usaha yang beraroma modern. Seperti para owner startup-startup itu lho. Atau usaha-usaha yang onlen-onlen gitu.

Lagi-lagi saya tergerak untuk membuka kamus. Dalam Kamus Lengkap bahasa Inggris – bahasa Indonesia, kata “owner” diterjemahkan sebagai “pemilik”.

Sementara itu, ketika saya membuka-buka halaman-halaman KBBI, saya tak berhasil menemukan kata ini. Saat saya memaksakan diri mengetik “owner” dalam baris pencarian, KBBI Daring kembali memberikan peringatan berupa simbol dan tulisan berwarna merah seperti ketika saya mencari kata “member”.

ilustrasi pencarian kata member di KBBI Daring

Maaf, saya cuma bercanda. Sebetulnya saya tidak punya keinginan aneh-aneh, kok. Apalagi mau  mengatur hal-hal semacam itu.

Saya hanya merasa heran, mengapa banyak orang seperti sengaja membedakan penyebutan istilah-istilah seperti itu. Asal-usulnya dari mana? Terus, alasannya apa?

Bukankah Badan Bahasa, bagian dari isntansi pemerintah yang bertugas mengelola bahasa Indonesia di negeri ini, telah menetapkan ketentuannya? Kalau bukan kita yang menggunakan kosakata dalam bahasa kita sendiri, lantas siapa lagi?

ilustrasi artikel nasib pedestrian yang serupa dengan busway

Menurut Anda, apa persamaan antara busway dan pedestrian? Barangkali Anda tidak pernah menduga jawabannya.

Saya suka geli mendengar orang bilang, “Saya mau naik busway.” Lho, jalanan kok dinaikin, sih? Nggak bakalan nyampe di tujuan, dong.

Orang Jakarta yang akan melakukan perjalanan dalam kota sering mengatakan mau naik busway. Mengapa saat hendak pergi Surabaya, misalnya, ia tidak bilang mau naik rel kereta api? Atau sewaktu merencanakan untuk bepergian ke Manchester tidak pernah bilang, “Saya pengen naik angkasa?”

Inilah yang bikin saya heran. Hanya busway, sebutan bagi jalur khusus bus itu, yang seakan-akan berubah makna menjadi jenis kendaraan. Mestinya kita konsisten memberikan sebutan bagi pelbagai jenis kendaraan dengan jalur yang dilaluinya.

Bus adalah jenis kendaraan yang—dalam kasus ini—disebut dengan sebutan jalurnya, yakni busway. Maka sudah seharusnya kereta api disebut rel kereta api. Pesawat terbang juga disebut dengan nama jalur yang dilaluinya, apa lagi kalau bukan angkasa?

Busway Tak Bisa Berjalan

Kalau belum yakin, kita bisa melihat makna istilah ini dalam kamus. Kamus Merriam Webster memberikan dua definisi yang menjelaskan makna kata busway.

Definisi pertama adalah bus duct, sebuah istilah yang tidak berhubungan dengan urusan angkutan dan lalu-lintas.

Bus duct sendiri diartikan sebagai “an electric conduit prefabricated in sections and containing heavy conductors for transmission of large currents at relatively low voltage.” Jadi, istilah bus duct lebih dekat kaitannya dengan urusan teknologi.

Sementara itu, definisi kedua kata busway yang dipaparkan dalam kamus ini adalah “an expressway or a lane of one that is reserved for the exclusive use of commuter buses.” Makna ini menjelaskan bahwa busway bukanlah bus, melainkan jalur khusus yang disediakan bagi bus-bus khusus yang mengangkut orang-orang yang melakukan perjalanan rutin hampir setiap hari.

Jadi lain kali jangan naik busway, ya. Naik busway tidak akan pernah tiba di tujuan. Dan ada hal yang lebih penting, kita bisa celaka. Kalau nggak tertabrak bus atau kendaraan lain (kendaraan lain lewat busway?), kita bisa ditangkap petugas.

Baca juga: Film Tilik dan Potensi BahasaDaerah untuk Mengambangkan Bahasa Indonesia

Pedestrian yang “Senasib” dengan Busway

Hal yang sebaliknya terjadi pada “nasib” pedestrian. Apakah yang Anda gambarkan dalam benak Anda mengenai istilah ini? Anda membayangkan makhluk hidup atau benda mati ketika mendengar orang menyebut istilah ini?

Barangkali yang tergambar dalam benak Anda adalah sebuah jalur yang terletak di sisi jalan raya. Di atas jalur ini orang berlalu-lalang. Atau di kebanyakan tempat di negeri kita, tampak berjejer pedagang makanan, penjual sandal jepit dan kini mungkin penjual masker dan hand sanitizer dadakan.

Jika Anda masih membayangkan keadaan semacam itu, mari kita sejenak membuka halaman KBBI. Kamus bahasa Indonesia itu memberikan penjelasan soal pedestrian yang mungkin berbeda jauh dengan yang Anda kira.

Berikut ini adalah makna kata pedestrian menurut KBBI dan contoh penggunaannya dalam sebuah kalimat.

“pejalan kaki: jalan khusus -- memang dibuat bersusun dua”

Kamus Lengkap bahasa Inggris – bahasa Indonesia pun menyatakan hal yang senada. Kamus ini mengartikan pedestrian sebagai “pejalan kaki”.

Dipaparkannya pula sebuah contoh penggunaan kata pedestrian dalam sebuah kalimat. “Careful pedestrians always walk on the sidewalk.”

Jelas sudah bahwa pedestrian itu makhluk hidup. Ia bukan jalur atau jalan yang biasa dilalui para pejalan kaki, melainkan pejalan kaki itu sendiri.

Pada saat-saat tertentu setiap orang bisa menjelma sebagai pedestrian. Jadi, ketika sedang bertindak sebagai pedestrian, tak perlu khawatir badan kita diinjak-injak orang. Juatru kaki-kaki kita yang akan menginjak-injak jalur yang kita lalui.

Namun, sebagai pedestrian yang tinggal di sebuah negara berkembang, kita mesti ekstra hat-hati. Jangan sampai kita menabrak penjaja kacamata atau peminta-minta.

Juga kita perlu menjaga dompet dan barang-barang berharga yang kita bawa. Siapa tahu ada penjahat yang siap memangsa.

Persamaan antara Busway dan Pedestrian

Kembali pada pertanyaan yang saya sampaikan di awal tulisan, “Apa persamaan antara busway dan pedestrian?”

Saya melihat setidaknya terdapat dua keadaan yang sama antara busway dan pedestrian. Dalam hal ini mereka senasib.

Persamaan pertama, kedua istilah itu berkaitan dengan urusan lalu lintas. Sedangkan persamaan yang kedua, keduanya sering digunakan pada tempat yang tidak semestinya.

Sekarang kita bahas perbedaan antara keduanya. Busway yang sering dianggap sebagai bus itu merupakan benda tak bernyawa, sama dengan bus. Sementara itu, pedestrian adalah makhluk hidup yang sering diperlakukan sebagai benda mati.

Itulah dua istilah barkaitan dengan lalu lintas yang sering digunakan secara kurang pas. Apakah Anda pernah menjumpai istilah-istilah lain yang “senasib sepenanggungan” dengan busway dan pedestrian?

Saya baru usai menonton film Tilik. Film yang sedang viral itu menunjukkan adanya potensi besar bahasa daerah sebagai sumber pengembangan bahasa Indonesia. 

film tilik dan bahasa daerah sebagai sumber pengembangan bahasa Indonesia

Seandainya dialog dalam film Tilik dilakukan dalam bahasa Indonesia, mungkin “guncangan’-nya akan berbeda. Saya melihat, penggunaan bahasa Jawa dalam film pemenang Piala Maya untuk kategori film pendek itu sangat tepat. Ia menjadi salah satu unsur penting yang menguatkan film pendek yang digarap tahun 2018 itu. 

Alasan utamanya tentu saja karena bahasa Jawa memang merupakan bahasa yang sehari-hari digunakan oleh warga desa yang menjadi lokasi film itu. Jadi, dengan menggunakan bahasa yang sama dengan keseharian orang-orang di sana, dialog-dialog dalam film terasa alami dan nyata. 

Selain alasan itu, saya melihat ada pula alasan lainnya. Saya mengambil sebuah dialog yang muncul pada bagian akhir film ini sebagai contoh untuk menjelaskan alasan ini. 

Kala itu Bu Tejo merasa dirinya sangat berjasa setelah berhasil menghibur ibu-ibu yang kecewa karena gagal menengok Bu Lurah. Tokoh sentral dalam film Tilik itu kemudian mengajak ibu-ibu mampir ke pasar. Dengan sedikit angkuh, Bu Tejo mengucap, “Dadi wong ki mbok yo sing solutip.” 

Kalimat yang dilontarkan Bu Tejo merupakan ucapan khas wong Jawa. Akan sulit sekali menerjemahkan kalimat ini ke dalam bahasa Indonesia. Kita tidak mengenal frasa “mbok yo” dalam bahasa nasional kita. Bila dipaksakan menggantinya dengan ungkapan lain, rasanya pasti akan sangat berbeda. 

Nah, kalimat itu merupakan salah satu contoh saja. Jika kita telusuri lebih dalam, akan banyak kita temukan ungkapan-ungkapan khas masyarakat Jawa yang tiada duanya. 

Baca juga: Sektor Perumahan, Mula Berkembangnya Kata “Developer” 

Bahasa Jawa yang Kaya Kosakata 

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang memiliki kosakata yang sangat banyak. Dan bahasa Jawa merupakan bahasa dengan penutur terbanyak di tanah air, mencapai lebih dari 80 juta orang. 

Kita mengenal bahasa Jawa sebagai bahasa dengan banyak tingkatan. Keadaan ini menjadi salah satu sebab banyaknya kosakata dalam bahasa Jawa. 

Sebuah kata dalam bahasa Indonesia bisa memiliki banyak padanan dalam bahasa Jawa sesuai tingkatannya. Saya ambil satu kata sebagai contoh, yaitu kata “makan”. 

Dalam bahasa Indonesia, orang menggunakan kata “makan” untuk menggambarkan orang yang memasukkan sesuatu ke dalam mulut, mengunyah dan menelannya. Hal itu terjadi siapa pun pelakunya dan siapa pun yang membicarakannya. 

Dalam bahasa Jawa lain cerita. Siapa yang memasukkan sesuatu, mengunyah dan menelan sangat berpengaruh terhadap pilihan kata yang akan digunakan untuk menggambarkannya. 

Dimulai dari kata yang paling halus hingga yang paling kasar, bahasa Jawa setidaknya memiliki lima kosakata yang menjelaskan aktivitas ini. Kelima kata itu adalah dhahar, nedha, mangan, (maaf) mbadhog, dan (maaf lagi) nguntal. Di luar kelima kata itu, masih terdapat variasi kata yang lain seperti maem. 

Itu baru dari satu kata. Dengan melihat masyarakat Jawa yang menjunjung tingkatan-tingkatan dalam berbahasa, kita akan mendapati banyak sekali kosakata bahasa Jawa yang hanya diwakili oleh satu kata saja dalam bahasa Indonesia. 

Fungsi Bahasa Daerah 


Saya mengajukan bahasa Jawa sebagai bahan pengaya bahasa Indonesia sebatas contoh. Ada dua alasan saya melakukan hal ini. 

Alasan pertama, karena saya baru saja menonton film berbahasa Jawa yang sedang viral. Selain terhibur, saya juga mendapatkan inspirasi dari tontonan singkat ini. 

Yang kedua, karena kebetulan saya lahir dan menghabiskan sebagian waktu hidup saya di tanah Jawa. Faktor “kebetulan” ini membikin saya cukup memahami bahasa ini sehingga (mudah-mudahan) lebih paham isi film yang mencuatkan gagasan itu. Selain tentu saja bisa memberikan beberapa contoh penggunaan bahasa Jawa di luar film yang menjadi pokok perbincangan. 

Salah satu fungsi bahasa daerah adalah sebagai pendukung bahasa Indonesia (kemdikbud.go.id). Jadi, tidak salah menggunakan istilah-istilah bagian dari kosakata dalam bahasa daerah untuk menambah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Tentu saja penggunaannya harus sesuai dengan aturan yang berlaku. 

Berdasarkan data Kemendikbud, per Oktober 2019 terdapat 718 bahasa daerah di seluruh wilayah Indonesia yang telah diidentifikasi (medcom.id). Jumlah ini menempatkan Indonesia pada posisi kedua sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa terbanyak di dunia. 

Angka sebanyak itu belum termasuk sejumlah dialek yang terdapat di pelbagai pelosok negara kita. Bila dialek-dialek itu ditambahkan, tentu jumlahnya akan menjadi lebih besar lagi.  

Bayangkan, betapa besar potensi bahasa-bahasa daerah di nusantara ini sebagai pengaya bahasa Indonesia.

Sektor Perumahan, Mula Berkembangnya Kata “Developer”


Kata “developer” menjadi sebuah istilah yang cukup masyhur belakangan ini. Selain di sektor perumahan, kata ini sering disebut dalam dunia Teknologi Informasi.

Baru-baru ini saya punya sedikit urusan dengan developer perumahan. Kala itu saya membutuhkan sehelai bukti pembayaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) atas tanah dan bangunan rumah yang saya beli dari developer itu.

Telah lebih dari lima tahun sang developer tak kunjung menyelesaikan urusan pemecahan sertifikat rumah milik warga. Akibatnya, pemilik rumah harus berurusan dengan developer saat membutuhkan dokumen pembayaran PBB atas tanah dan bangunan dimaksud.

Kabarnya, banyak juga developer-developer lain yang melakukan hal serupa. Menunda-nunda pemecahan sertifikat entah karena alasan apa. Padahal pembeli telah memiliki semua persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat tanah miliknya.

Saya tidak akan membahas lebih lanjut urusan sertifikat tanah atau masalah yang berkaitan dengan PBB. Kali ini saya lebih tertarik pada kata “developer” yang cukup banyak saya sebut dalam bagian awal tulisan ini.

Istilah developer memang sangat era kaitannya dengan proyek perumahan. Sebenarnya asal kata yang membentuk kata ini memiliki arti yang beragam.

Sebuah kamus bahasa Inggris – bahasa Indonesia membeberkan sejumlah arti kata “develop” yang merupakan kata dasar dari kata “developer”. Dalam kamus itu disebutkan lima makna kata “develop”, yakni tumbuh, berkembang; membangun, mengembangkan; memperkuat; mencetak serta menghasilkan, mengembangkan.

Namun entah mengapa saya lebih sering menemui kata developer digunakan untuk menyebut perusahaan yang bergerak dalam bidang pembangunan perumahan.

Jadi, kata developer seakan-akan sudah menjadi hak milik para pebisnis yang mempunyai usaha membangun rumah.

Baca juga: Susahkah Menyatakan dalam Bahasa Indonesia Ungkapan “Free Ongkir”?

Meluasnya Penggunaan Kata “Developer”

Akhir-akhir ini penggunaan kata developer telah melebar ke sektor-sektor di luar perumahan. Di luar bidang perumahan, dunia internet menjadi salah satu sektor yang turut mengecap “nikmat”-nya kata developer ini.

Kini, para pembuat dan pengelola program-program yang dijalankan di dunia maya menyebut diri mereka dengan sebutan developer. Misalnya saja developer program-program yang dijalankan dalam sistem android atau sistem operasi gawai lainnya.

Akibatnya, penggunaan istilah developer tampaknya semakin luas. Mengingat sifat jagat internet yang memiliki kemampuan menyebar sangat cepat, maka pemakaian istilah-istilah tertentu seperti developer akan berkembang dengan kencang.

Barangkali kelak kita akan mendapati kenyataan bahwa dalam perbincangan Teknologi Informasi, bahasa Indonesia akan menjadi minoritas. Padahal perbincangan itu terjadi antar penduduk Indonesia dan dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Rasanya, hingga kini upaya mensosialisasikan sebutan “pengembang” bagi para pebisnis perumahan saja belum kelar. Kita masih lebih sering mendengar sebutan developer ketimbang kata pengembang dalam pelbagai bentuk obrolan dan berita menyangkut bidang perumahan.

Kini, pekerjaan rumah para pejuang bahasa bertambah. Dan barangkali tambahan PR-nya kali ini jauh lebih sulit diselesaikan.

Perkembangan Lainnya Istilah “Develop”

Selama masa pandemi Covid-19 ini, beberapa kali saya mengikuti acara webinar yang membahas aktivitas-aktivitas dunia blogging. Dalam sejumlah kesempatan itu, acap kali saya mendengar si pembicara menyebut-nyebut kata “develop” dalam materinya yang disampaikan menggunakan bahasa Indonesia.

“Dalam persaingan yang keras ini, kita harus bisa men-develop program kita lebih baik dibandingkan competitor kita.” Kira-kira seperti itu salah satu contoh kalimatnya.

Rupanya semakin banyak orang ingin memopulerkan kata develop beserta semua kata turunannya. Istilah develop hanya merupakan bagian sangat kecil dari sedemikian banyak istilah-istilah asing yang berkeliaran dalam percakapan-percakapan dan tulisan-tulisan berbahasa Indonesia.

Mengamati perkembangan penggunaan istilah-istilah asing yang semakin meluas, tak pelak timbul kekhawatiran dalam hati. Akankah istilah-istilah domestik semacam “pengembang”, “berkembang” dan “mengembangkan” bakal hilang dari peredaran karena kalah populer dibandingkan istilah-istilah asing yang (mungkin) terdengar lebih keren?

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Mencari Artikel

Artikel Populer

  • Mencari Hikmah di Balik “Musibah”, Sebuah Catatan Kelahiran Blog “Ulas Bahasa”
    Antusias sekali saya menyambut sebuah pelatihan bertajuk “Kelas Menulis Blog”. Kelas ini memang telah cukup lama saya nanti-nantikan. Dua ...
  • Mengapa Orang Keranjingan Mengucapkan Kata “Dirgahayu”?
      Bulan Agustus merupakan bulan naik daunnya kata “dirgahayu”. Dan hari Senin, tanggal 17 Agustus 2020 ini merupakan puncak berseraknya kata...
  • Mengulas Kata-Kata Paling Populer Sepanjang Tahun 2020
    Apa saja kata-kata yang paling populer dan banyak dicari oleh masyarakat di Indonesia sepanjang tahun 2020 yang lalu? Menjelang akhir tahu...

Arsip

  • Maret (1)
  • Februari (1)
  • Januari (2)
  • Desember (1)
  • November (1)
  • Oktober (5)
  • September (7)
  • Agustus (11)

Berlangganan Artikel

Advertisement

Copyright © 2021 Ulas Bahasa. Created by OddThemes