Dirujak netizen merupakan bencana yang menimpa sejumlah pesohor dari Ronaldo hingga Gibran. Mengapa warganet gemar “makan rujak” berbahan baku orang-orang terkenal?
Rujak yang kita kenal selama ini adalah sebutan jenis makanan tradisional yang menggunakan buah-buahan sebagai bahan utamanya. Selain buah-buahan, adakalanya rujak juga dikasih sayuran.
Secara umum, rujak mengandung tiga rasa, yakni pedas, asam, dan manis. Kita bisa membeli makanan ini di warung-warung tradisional atau penjual rujak keliling.
Lantas, mengapa tokoh-tokoh terkenal dari pelbagai penjuru dunia sampai dirujak netizen?
Ketika Popularitas Rujak Meningkat
Proses pembuatan rujak diduga menjadi “biang keladi” kejadian-kejadian semacam ini. Bagaimana, sih, proses pembuatan rujak hingga dijadikan “kambing hitam” dalam urusan ini?
Mengutip resep rujak yang ditayangkan di sebuah situs memasak yang populer, ada tiga tahap yang harus dilakukan untuk membuat rujak. Ketiga tahap itu adalah:
1. Ulek cabe rawit merah, terasi, garam, gula merah dan air asam sacara merata,
2. Setelah itu masukkan kacang tanah,
kemudian diulek lagi,
3. Setelah itu masukkan semua buah
kemudian dicampur hingga rata.
Catatan: saya menyesuaikan penulisan beberapa kata, seperti akhiran -kan dan awalan di- sesuai kaidah bahasa Indonesia yang berlaku saat ini.
Silakan baca ulasan mengenai istilah mix dan blend yang banyak digunakan di dunia tataboga.
Saya menduga proses inilah yang menyebabkan nama rujak sangat populer di kalangan warganet Indonesia. Kata ‘ulek’ menjelma sebagai aktor utamanya.
Bayangkan seorang juru masak atau ibu rumah tangga mengulek alias menggiling pelbagai bumbu dapur seperti cabai, terasi, garam, gula merah, dan bahan makanan seperti kacang tanah. Bahan-bahan yang semula padat dan memiliki bentuk khas masing-masing berakhir menjadi lembut tergilas ulekan nan keras.
Nah, kira-kira seperti bumbu-bumbu dapur itulah Ronaldo dan Gibran serta pesohor-pesohor lainnya diperlakukan oleh warganet. Bayangkan, mereka diulek hingga lumer!
Dirujak Netizen, Sebentuk Perubahan Makna Kata
Namun, berbeda dengan bumbu dapur, kondisi tubuh orang-orang yang dirujak itu tetap utuh. Barangkali, hati mereka yang lebur.
Tentu saja warganet tidak merujak para pesohor menggunakan ulekan yang biasanya terbuat dari kayu atau batu. Mereka memilih memberdayakan jemari untuk “bikin rujak”, dan menggunakan kata-kata sebagai medianya.
Akhir-akhir ini, istilah merujak dalam konteks ini banyak muncul di media sosial. Tak mau ketinggalan, media-media jenis lainnya turut menyebarkannya hingga pamor “rujak” meroket dalam waktu singkat.
Perkembangan pesat penggunaan istilah merujak dengan makna baru ini tak lepas dari amatan pengelola Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kini, kita bisa menemukan lema merujak dalam makna yang tidak berkaitan dengan makanan di kamus kelolaan Badan Bahasa. Selain mengartikannya sebagai ‘memakan rujak’, KBBI juga memberi makna merujak sebagai ‘melumat’ atau ‘merundung’.
Jadi, merujak yang nggak pakai buah-buahan sudah masuk KBBI sebagai bentuk kiasan.
Berbagai Makanan yang Senasib dengan Rujak
Apakah rujak merupakan satu-satunya jenis makanan yang “diolah” hingga menelurkan makna lain di luar makanan? Ternyata tidak. Beberapa jenis makanan lainnya mengalami nasib serupa, misalnya dodol dan tempe.
Kita mengenal dodol sebagai penganan yang terbuat dari tepung ketan, santan kelapa, dan gula merah. Namun, kreativitas yang dimiliki penutur bahasa Indonesia telah membawa dodol keluar dari makna aslinya.
Silakan baca ulasan mengenai asal-usul dan makna kata takjil yang populer di bulan Ramadan.
Orang-orang kreatif itu membikin orang tak lagi berselera menyantapnya. Bagaimana mau timbul selera?
Di tangan warga kreatif, dodol bukan lagi sebentuk makanan. Mereka telah menyulap penganan yang kerap dikemas sebagai buah tangan itu menjadi ungkapan untuk mengolok-olok orang lain yang dianggap bodoh.
Sungguh tragis nasib yang menimpa dodol. Sebuah kreativitas telah “mencemari” nama baik si manis yang bikin nagih itu.
Sebelum menimpa rujak dan dodol, perlakuan serupa pernah nyaris meruntuhkan martabat tempe. Bahkan, nasib tempe lebih buruk dibandingkan kedua “kolega”-nya.
Makanan berbahan baku kedelai yang kaya gizi itu dipersamakan dengan mental yang lemah. Rasanya sulit memahami adanya dua kondisi yang berlawanan terdapat pada satu barang yang sama.
Pemaknaan demikian memunculkan ungkapan-ungkapan yang tidak enak didengar. “Jangan bermental tempe!” dan “Dasar bangsa tempe!”adalah dua di antara banyak contohnya.
Sungguh tidak selaras dengan kualitas tempe yang sesungguhnya.
Selain kisah ketiga makanan tersebut, banyak lagi peristiwa-peristiwa yang menyebabkan perubahan makna kata dalam suatu bahasa yang terus berkembang. Memang, dirujak netizen bukan satu-satunya “tragedi” di negeri ini.
Post a Comment
Post a Comment