Berbantah-bantah menjadi salah satu jenis “pertunjukan” yang menarik perhatian. Peluang bagus ini tentu saja tak disia-siakan oleh media.
Perbantahan tak lepas dari adanya perseteruan antar manusia atau kelompok manusia. Perseteruan ini bisa terjadi lantaran adanya perbedaan kepentingan di antara dua pihak.
Berbantah-bantah antara pihak terlapor dan pihak yang melaporkan dalam kasus pelecehan di KPI bisa menjadi salah satu contoh. Pihak terlapor membantah laporan si pelapor, dan pelapor membantah balik bantahan terlapor.
Dalam kasus-kasus hukum lainnya hampir tak dapat dielakkan terjadinya perbantahan antara pihak tersangka dengan korban. Masyarakat umum yang menyaksikan jalannya bantah-bantahan pun tak luput dari emosi, kemudian turut berbantah-bantah di antara mereka.
Selain permasalahan yang berkaitan dengan hukum, aktivitas berbantah-bantah juga rutin menyambangi televisi dan tayangan-tayang video lainnya seperti podcast yang masyhur belakangan ini. Pengelola siaran televisi misalnya, sepertinya sengaja mengundang beberapa pihak yang diperkirakan bakal menampilkan perbantahan yang seru saat dipertemukan dalam satu panggung.
Maka, seiring dengan maraknya acara-acara semacam itu, kita kerap menemukan kata membantah dalam berita-berita yang dimuat media massa. Barangkali kita pun gemar menyaksikan acara perbantahan yang memang sengaja dimunculkan dalam siaran televisi.
Bosan Berbantah? Ganti, Dong!
Saya tertarik dengan kata membantah yang berasal dari kata dasar bantah ini. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan tiga kata sebagai makna kata bantah. Ketiganya adalah lawan, sangkal dan tengkar.
Pencarian makna dari ketiga arti kata bantah itu memunculkan beberapa kata lain yang semakna, seperti sanggah dan tentang. Kemudian, dari Kamus Tesaurus bahasa Indonesia (Tesamoko), saya menemukan banyak lagi kata-kata yang bermakna serupa dengan kata bantah.
Di antara sejumlah kata yang berkaitan dengan kata bantah, saya menaruh perhatian pada sebuah kata yang hampir tidak pernah saya temukan dalam percakapan atau pemberitaan media. Kata yang saya maksudkan adalah balah.
“Penemuan” kata ini mirip dengan pertemuan saya dengan kata rudin. Mereka berdua adalah bagian nadir dari bahasa Indonesia.
Saya hanya pernah membaca tulisan yang mengandung kata yang satu ini pada buku yang ditulis oleh sang penyusun Tesamoko, Eko Endarmoko. Buku berjudul Polisi Bahasa itu memuat “kosakata langka” ini di halaman 119.
“Perbalahan yang sudah lama selesai dan tenggelam itu tempo hari bangkit lagi.” Itulah sepenggal kalimat yang terdapat dalam bab “Bumi Datar dan Dunia Persilatan”.
Selain di buku yang telah saya sebutkan di atas, Anda juga bisa bersua dengan artikel ini di tautan ini.
Nah, bagaimana pengalaman Anda? Pernahkah Anda menjumpai kata ini dalam kehidupan yang telah Anda jalani?
Kosakata nan Merana
Ketika saya mencoba menelusuri kata ini dalam mesin pencari Google, saya tidak mendapatkan banyak hasil seperti yang saya harapkan. Si Mbah malahan menyodorkan lebih banyak alternatif kata kunci belah ketimbang kata yang saya maksudkan. Ini mah, jauh panggang dari api.
Dari sini saya semakin yakin untuk menyimpulkan bahwa kata ini sangat tidak populer di negerinya sendiri. Barangkali ia tengah meratapi kelahirannya di dunia yang tak dianggap oleh kebanyakan manusia.
Dalam dunia nyata saya telah merasakan secara langsung kelangkaannya. Sedangkan di jagat maya, si mesin pencari yang terkenal digdaya pun tak memiliki banyak persediaan kata kunci dengan kata balah terkandung di dalamnya.
Kerap timbul rasa sayang dalam hati ketika saya mendapati sebuah kosakata yang telah “lelah-lelah dibuat”, lalu tidak digunakan sama sekali. Apalagi istilah yang terasa indah semacam kata balah.
Dalam tulisan saya sebelumnya mengenai penggunaan kosakata langka, saya telah mengungkapkan manfaat kosakata yang jarang digunakan orang. Saya akan merasakan kepuasan tersendiri tatkala bisa “mengorbitkan” kata-kata yang jarang mengemuka melalui tulisan-tulisan saya.
Tidak berbeda juga saat saya menemukan kata balah. Wah, kita patut menyesal bila sebuah kata seelok—soal elok tidaknya kata ini mungkin bersifat subjektif--ini dibiarkan terkungkung dan merana dalam sejilid bausastra.
Kemudian tebersit tekad untuk melakukan sesuatu terhadap si malang balah. Apalagi kalau tidak mencatat kata ini dalam hati dan memasukkannya ke dalam daftar “kosakata aneh” yang saya miliki.
Lantas, kelak saya akan berusaha menampilkannya dalam tulisan-tulisan saya. Saya telah memulainya dengan membahas “kemalangan” si balah melalui artikel ini.
Semoga saja balah tidak lagi merasa kesepian setelah sekian lama “ditinggal rekan-rekannya” seperti bantah, sangkal, dan tengkar mengembara di belantara media di negeri kita. Mudah-mudahan ia akan bangkit dan turut meramaikan dunia literasi di negeri yang kita cintai.
Anda berkenan ikut mempromosikan kata balah sebagai alternatif kata bantah?
Post a Comment
Post a Comment