Ulas Bahasa
  • Beranda
  • Tentang
  • Kontak
  • Kebijakan
    • Sangkalan (Disclaimer)
    • Kebijakan Privasi
  • Artikel
    • Asal Kata
    • Inspirasi Bahasa
    • Istilah Asing
    • Kalimat
    • Kosakata
Diberdayakan oleh Blogger.

 

Di-mix Aja Buah-Buahannya,  Biar Nge-blend Rasanya

“Di-mix aja buah-buahannya, biar nge-blend rasanya.” Sepenggal kalimat itu terngiang di telinga saya hingga beberapa hari seusai saya mendengarnya dari kanal Youtube.

Suatu sore yang cerah, saya sedang asyik mengutak-atik kalimat, berusaha menuntaskan sebuah konsep artikel yang mangkrak. Mendadak istri saya menghampiri dan menyodorkan gawainya. Ia memperlihatkan sebuah tayangan video kuliner di kanal video paling populer.

Ia memang tengah bergairah mempelajari berbagai resep makanan dan minuman melalui media daring. Sesuatu yang menggembirakan karena saya bisa lebih sering menikmati kuliner hasil praktik resep-resep baru.

Menonton video kuliner acap kali membikin air liur menetes. Hal ini pun terjadi ketika istri saya memperlihatkan potongan video yang berkisah tentang seseorang yang sedang mempromosikan cara membuat es buah.

Mulanya, koki menyampaikan daftar bahan-bahan yang harus disiapkan guna menghasilkan es buah yang segar. Setelah paparan mengenai bahan-bahan disampaikan, segera saja ia menjelaskan tata cara membuat es buah yang katanya berasa sedap itu.

“... lalu buah-buahan itu di-mix agar rasanya nge-blend, ...” Begitulah salah satu penggalan kalimat yang diucapkannya tatkala menjelaskan proses pembuatan salah satu produk andalannya.

Bukan sesuatu yang aneh mendengar orang mengucapkan kalimat dengan sisipan beberapa kata “keren” yang berasal dari negeri seberang. Namun tetap saja ucapan si pembawa acara bikin saya termangu sejenak.

Ujarannya itu telah mengalihkan benak saya dari bayangan sedapnya es buah nan segar. Saya tak lagi memperhatikan penjelasan sang koki seusai ia me-mix buah-buahan hingga rasanya nge-blend itu.

Bukan berarti saya tak tergiur dengan sajian es buah, lho. Jenis minuman itu tetap merupakan salah satu produk penghilang dahaga favorit saya.

Dua kata yang diucapkan Youtuber itu lebih menarik perhatian saya ketimbang aksi sang koki menyeruput segelas es buah, kemudian mengangsurkan jempol tangan kanannya ke arah kamera. Istilah “di-mix” dan “nge-blend” kemudian bermukim dalam benak saya sekian lama.

Baca juga: Suka Menggunakan Kata Laundry? Padahal Banyak Kosakata Lainnya

Bersenjatakan KBBI dan Kamus Tesaurus

Mendapati hal demikian, lalu timbul pertanyaan dalam benak saya. Sedemikian susahkah menemukan padanan kedua kata itu dalam bahasa kita? Atau memang ia amat menyukai istilah-istilah semacam itu?

Saya kitra tidak susah menemukan kedua kata itu dalam bahasa Indonesia. Dari konteks kalimat yang dituturkannya, saya menduga sang koki bermaksud mengaduk bermacam-macam buah yang menjadi bahan baku es buah itu agar rasanya bercampur menjadi satu.

Padahal, dengan membuka-buka Kamus Tesaurus saja, kita bisa langsung menemukan deretan panjang pelbagai kosakata yang bisa digunakan untuk menggantikan kata-kata asing yang dipaksa meng-Indonesia itu.

Berdasarkan kamus bahasa Inggris – bahasa Indonesia, istilah mix dan blend memiliki makna yang serupa. Beberapa kamus mengartikan mix dan blend sebagai mencampur.

Dalam konteks kalimat yang diucapkan sang koki, kedua kata “jadi-jadian” itu bisa dijelaskan berikut ini.

1. Di-mix

Saya menduga, si penutur bermaksud mengingatkan pemirsa agar mencampur buah-buahan dalam sebuah wadah. Jadi, dalam konteks ini, tentu saja kata dicampur bisa menggantikan ungkapan di-mix.

Jika ingin menggunakan variasi lainnya, bisa juga memilih kata-kata diaduk, dibancuh atau disabur. Kamus Tesaurus bahasa Indonesia bahkan menampilkan 20 kata sebagai sinonim kata mencampur, meskipun tidak semuanya bisa digunakan dalam konteks ini.

2. Nge-blend

Dari kalimat yang dituturkannya, saya mengambil kesimpulan bahwa dengan mengucap nge-blend, si penutur hendak menyatakan bahwa buah-buahan yang disatukan itu rasanya akan menyatu.

Lagi-lagi, dalam urusan ini, Kamus Tesaurus bisa menjadi solusi. Kamus ini memberikan beberapa sinonim untuk kata menyatu seperti berpadu, berbaur atau lebur.

Tentu saja tidak semua kata sinonim itu bisa digunakan dalam konteks kalimat dimaksud. Dengan mencari makna kata-kata itu dalam KBBI, kita bisa memilih salah satu di antara kata-kata itu.

Baca juga: Dari Recruitment Hingga Resign Menyerbu Bagian Personalia

Berbahasa Indonesia sesuai Kemampuan

Barangkali bukan ketidaktahuan yang menjadi faktor penyebab munculnya banyak sisipan istilah asing ketika orang bertutur dalam bahasa Indonesia. Banyak alasan lain orang gemar menggunakan istilah-istilah asing meskipun bahasa Indonesia telah menyediakan banyak kosakata yang bisa digunakan.

Jika persoalannya bukan ketidaktahuan, memang tidak akan segampang itu solusinya.

Mumpung kita sedang memperingati Hari Sumpah Pemuda, mari sejenak mengingat hari bersejarah itu. 92 tahun silam, dalam Kongres Pemuda II, para pemuda Indonesia telah menetapkan bahasa Melayu, yang kemudian kita kenal sebagai bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan.

Dalam kisah yang saya sitir dari kompas.com, terdapat cerita yang sangat menarik di balik penetapan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan kita. Kala itu, bahasa Melayu telah digunakan secara luas dalam pergaulan di seluruh kepulauan Nusantara.

Di pihak pemerintah kolonial Belanda sendiri terjadi perbedaan pendapat menyangkut penggunaan bahasa di daerah jajahan mereka. Sebagian orang menganjurkan pemerintah menetapkan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi bagi seluruh penduduk Hindia Belanda.

Namun, ada pula yang dengan kesombongannya menganggap bahasa Belanda bernilai terlampau tinggi bagi penduduk pribumi. Dengan demikian, menurut pendapat golongan ini, warga asli negeri ini tidak pantas menggunakan bahasa mereka.

Sebuah ketidaksepahaman yang menguntungkan pihak kita. Celah itu menjadi salah satu pembuka kesempatan bagi para pemuda yang dipelopori oleh Moh. Yamin mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Pengakuan bahasa persatuan itu lantas menjadi butir ketiga dari sumpah yang mereka ikrarkan pada hari yang sangat bersejarah itu.

Mengingat tidak gampangnya menyatukan tekad sekian banyak pemuda dari pelbagai suku, bahasa, dan organisasi kedaerahan, alangkah baiknya kita menghargai upaya keras mereka.  Salah satu caranya dengan berusaha menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.

Dalam urusan ini, saya tak pernah menetapkan target yang muluk-muluk, kecuali menjalaninya sesuai kemampuan saja. Yang penting tebersit niat dan terpancar semangat untuk belajar dan mempraktikkan ilmu yang saya peroleh dari berbagai sumber.

Selamat Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020.

 


Ilustrasi 3 Manfaat Menulis Kosakata Langka

Saya mendapatkan setidaknya 3 manfaat menulis kosakata langka. Menorehkan sejumlah kosakata yang jarang mengemuka telah menimbulkan sensasi tersendiri.

Mula-mula saya menemukan beberapa orang penulis yang gemar menggunakan kosakata “aneh” yang jarang muncul ke permukaan dalam tulisan-tulisan mereka. Ungkapan-ungkapan seperti takzim, galib, anggit, sawala, dan masih banyak lagi istilah-istilah unik lainnya tak banyak beredar di media. Saya sangat menikmati tulisan-tulisan bertabur istilah-istilah “ganjil” semacam itu.

Memang materi dan teknis penyajian yang disampaikannya cukup bagus hingga bikin saya betah berlama-lama menelusuri artikelnya hingga pungkasan. Namun, selain itu, saya tetap merasakan adanya tambahan keasyikan ketika mendapati kata-kata “baru” yang ditampilkan sang penulis. Saya terpikat akan daya tarik kosakata yang jarang nongol di media.

Karya-karya para penulis itu telah menginspirasi. Dalam setiap kali kesempatan menulis, saya ikut-ikutan mencoba pelbagai variasi kosakata. Saya juga berupaya memunculkan kosakata yang jarang digunakan oleh kebanyakan penulis lain. Tentunya sepanjang kosakata itu memang sesuai dengan konteks kalimat yang sedang saya tulis.

Baca juga: Maaf, KamiTak Pantas Meneladani Guru

Sensasi Menggunakan Kosakata Langka

Saya merasakan sensasi tersendiri ketika bisa menggunakan kosakata yang tak banyak beredar, baik di jagat maya maupun di dunia nyata. Sebetulnya tidak selalu bersifat ideal alasan melakukan hal itu, semacam mengembangkan kosakata bahasa Indonesia gitu.

Adakalanya hanya karena ingin menikmati perasaan yang gimana gitu. Setelah menuliskan ungkapan-ungkapan langka itu, rasanya diri ini sudah punya andil memopulerkan sebuah atau beberapa buah kosakata yang “tak laku”.

Berikut ini contoh beberapa kosakata yang berdasarkan pengalaman membaca, jarang muncul di media massa atau blog.

Contoh pertama, kata ganjil. Kata ganjil memang bisa dimaknai sebagai lawan kata genap dalam kaitan dengan angka. Namun, dalam pengertian yang lain, istilah ini bisa berperan menggantikan istilah-istilah yang lebih umum digunakan seperti kata-kata aneh dan ajaib.

Untuk menggambarkan kondisi tidak biasa, saya kerap menggunakan ungkapan ganjil selain aneh dan ajaib. Padahal, Kamus Tesaurus menyediakan banyak sekali ungkapan yang semakna dengan ketiga kata tersebut. Sebut saja beberapa di antaranya: asing, garib, dan nadir.

Yang kedua, kata-kata selesai, usai, rampung, beres dan tuntas bermakna serupa. Lima istilah masih kurang? Nih, bisa ditambah lagi dengan kelar dan tamam.

Ketiga, kata selalu dan senantiasa. Keduanya bisa saling menggantikan. Jika belum puas menggunakan keduanya, ada lagi sinonim yang lain, yakni nyalar.

Selain ketiga contoh di atas, masih banyak lagi ungkapan-ungkapan bersinonim yang bisa kita gunakan untuk men-cetar-kan tulisan. Bila deretan sinonim yang terdaftar dalam Kamus Tesaurus masih belum mencukupi kebutuhan, kita juga dapat membuat variasi lain menggunakan lawan kata ditambah kata tidak di depannya. Misalnya kata sering bisa diganti dengan frasa tidak jarang.

Mendapatkan Kosakata Langka

Biasanya saya memanfaatkan Kamus Tesaurus bahasa Indonesia untuk mencari sinonim dan istilah-istilah unik. Setelah itu, bila diperlukan, saya akan menguji ketepatan sebuah kata dalam menggantikan kata lainnya menggunakan KamusBesar Bahasa Indonesia (KBBI).

Jika hasil penelusuran menunjukkan bahwa istilah itu memang cocok dengan konteks kalimat, saya akan dengan senang hati mencantumkannya sebagai bagian dari tulisan saya. Namun bila penggunaan kosakata itu terkesan terlalu dipaksakan hanya demi “menyelamatkan” kosakata yang dikhawatirkan punah, tentu saja saya enggan melakukannya.

Jadi, tujuan mempercantik tulisan sudah pasti tidak boleh merusak makna tulisan itu sendiri. Bagaimanapun, tujuan menulis (maunya) untuk menyampaikan informasi atau pendapat . Sedangkan “kecantikan” tulisan adalah sarana tambahan untuk menarik minat (calon) pembaca.

Baca juga: “MenghembuskanNafas”, Dua Kesalahan dalam Satu Ungkapan

Manfaat Menulis dengan Kosakata Langka

Saya mencatat, menuliskan ungkapan-ungkapan unik dalam karya-karya kita bisa mennghadirkan sedikitnya 3 manfaat.

1. Manfaat pertama langsung saya rasakan sendiri. Rasanya diri ini menjadi spesial karena telah tampil beda dengan tulisan-tulisan berhiaskan kosakata “asing” ketimbang muter-muter dengan kosakata biasa-biasa saja.

Saya berharap penggunaan kosakata yang jarang muncul ini bisa menjadi salah satu ciri khas tulisan-tulisan saya. Meskipun tentu saja saya tidak sendirian dalam hal ini. Telah banyak penulis-penulis terdahulu yang melakukannya.

2. Faedah kedua, (mudah-mudahan) tulisan saya tidak membikin bosan pembaca. Saya berharap karya-karya yang di dalamnya terselip satu atau beberapa koasakata “ganjil” membuat tulisan saya lebih menarik di mata pembaca. Setidaknya tingkat membosankannya tak setinggi tulisan-tulisan yang tak mengandung kata-kata istimewa di dalamnya.

Dalam hal ini, saya tentu menyadari bahwa penggunaan kosakata yang bervariasi bukan faktor utama yang membuat tulisan menjadi menarik dan berharga. Tentunya materi tulisan itu sendiri yang menjadi unsur penentu baik atau buruknya sebuah hasil karya.

Dengan menyadari bahwa tema dan isi tulisan saya tidak memiliki kesanggupan untuk disejajarkan dengan karya-karya orang lain, saya mencari cara lain memoles tulisan-tulisan saya agar tampak tidak terlalu buruk di mata pembaca. Dan salah satu caranya adalah dengan membuat corak kosakata yang berbeda.

3. Yang terakhir, saya menduga-duga belaka. Barangkali pembaca yang lebih memahami bidang ini bisa memberikan penjelasan yang lebih masuk akal.

Manfaat dimaksud berkaitan dengan dunia kepenulisan di ranah daring, khususnya blogging. Menurut banyak bacaan yang saya pahami, dalam dunia daring peran Search Engine Optimization (SEO) amat penting. Ia bisa menentukan posisi sebuah blog dalam rimba internet yang demikian luas.

Sesuai ilmu yang cetek ini, variasi kosakata berpengaruh positif terhadap kualitas blog dilihat dari kacamata SEO. Dugaan ini berdasarkan sebuah alat (tool) yang menunjukkan bahwa banyaknya pengulangan kata yang sama bisa menurunkan nilai SEO konten.

Memperkaya Penguasaan Kosakata

Oh ya, satu lagi. Sebuah manfaat lain sudah pasti akan mengikuti tatkala kita kerap membuka-buka kamus untuk mencari padanan kata. Dengan sering menuliskan ungkapan-ungkapan yang jarang digunakan, secara otomatis kita akan semakin memahami kosakata dimaksud. Dan selanjutnya, perbendaharaan kosakata kita akan terus bertambah.

Nah, dengan berbagai manfaat itu, saya semakin bersemangat menggali potensi-potensi kosakata yang masih ngumpet di kamus. Karena sering membuka-buka KBBI dan Kamus Tesaurus, saya juga semakin mengenal perangkat penunjang bahasa Indonesia itu. Ternyata banyak sekali kosakata yang terdaftar dalam kedua perangkat itu yang jarang menghias media.

Namun, penggunaan kata-kata yang tampak serupa, tidak selalu bisa saling menggantikan. Kadang-kadang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Maka, bila kita tidak berhati-hati, kita bisa terjebak pada penggunaan istilah yang kurang tepat.

Sebut misalnya kata hampir dan nyaris. Sekilas keduanya tampak sebagai sinonim yang bisa saling menggantikan. Padahal jika kita amati lebih dalam, terdapat perbedaan fungsi di antara keduanya.

Kata hampir bersifat netral karena bisa diterapkan dalam kalimat yang bernada positif maupun negatif. Sementara itu, kata nyaris lebih mengarah pada keadaan negatif (tidak menyenangkan) semacam bencana.

Terakhir, ada sebuah harapan yang membuncah di dada. Semoga dengan menggunakan variasi kosakata, terutama kosakata yang jarang digunakan, pembaca semakin menyukai tulisan-tulisan yang saya hasilkan.

Selain itu, saya juga berharap bisa turut andil mengembangkan bahasa Indonesia melalui upaya menghidupkan kembali sekian banyak kosakata yang nyaris punah. 

Senyampang kita masih berada di Bulan Bahasa dan Sastra, mari munculkan lagi sejumlah kosakata langka agar kembali mengemuka.

 

Ilustrasi Bulan Bahasa dan Sastra 2020, Cara Sehat Berbahasa

Yuk, jadikan Bulan Bahasa dan Sastra 2020 sebagai momen untuk berbahasa Indonesia yang lebih sehat. Memangnya, seperti apa sih bahasa yang sehat itu?

Kesehatan menjadi salah satu faktor penting yang sangat memengaruhi kenyamanan hidup manusia. Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung lebih dari enam bulan ini semakin mengokohkan pentingnya peran kesehatan dalam kehidupan. Betapa terganggu sendi-sendi kehidupan yang lain ketika faktor kesehatan terancam.

Kita sedang diuji, apakah dengan kondisi sulit sekarang ini, kita tetap bisa berpikir dan bertindak secara sehat. Saat tubuh kita sedang terancam oleh virus yang amat membahayakan kesehatan, setidaknya kita berharap pikiran dan hati kita tetap sehat.

Bulan Oktober selalu menjadi bulan istimewa bagi insan Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Pada bulan Oktober pula, para pemuda telah bersumpah untuk menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bagi seluruh umat di bumi Indonesia.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbud selaku tangan pemerintah yang mengurusi pengembangan bahasa-bahasa di nusantara telah menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Sastra. Kabarnya, peristiwa Sumpah Pemuda yang terjadi pada bulan Oktober telah melandasi penetapan bulan ini sebagai Bulan Bahasa dan Sastra.

Tahun 2020 ini, dalam bulan Oktober kita sedang merasakan banyak kesulitan menimpa masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia. Sebentuk virus penyebab penyakit yang sulit diprediksi datangnya dan belum diyakini obatnya telah menyerang dan mengobrak-abrik tatanan kehidupan masyarakat hampir di seluruh pelosok dunia.

Baca juga: Hari Olahraga Nasional dan Makna Kata Olahraga

Tema Bulan Bahasa dan Sastra

Di bawah ancama serius virus ganas ini, Badan Bahasa mengambil tema “Berbahasa untuk Indonesia Sehat” sebagai tema Bulan Bahasa dan Sastra. Salah satu inspirasi yang melatarbelakangi penetapan tema ini tentu saja keadaan masyarakat dalam masa pandemi Covid-19 yang tengah melanda dunia saat ini.

Sebuah situs berita menyampaikan paparan Badan Bahasa mengenai pelaksanaan Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2020. Menurut pikiran-rakyat.com, E. Aminudin Aziz mengemukakan 3 tujuan penyelenggaraan Bulan Bahasa dan Sastra tahun 2020. Berikut ini 3 tujuan yang disampaikan Kepala Badan Bahasa itu.

  1. Untuk melestarikan semangat persatuan yang digagas oleh para pemuda dalam peristiwa Sumpah Pemuda.
  2. Untuk meningkatkan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa negara.
  3. Meningkatkan peran serta masyarakat luas melalui berbagai aktivitas kebahasaan dan kesastraan.

Baca juga: Mencari Hikmahdi Balik “Musibah”, Sebuah Catatan Kelahiran Blog “Ulas Bahasa”

Kaitan antara Bahasa dan Kesehatan

Beberapa hasil penelitian mengindikasikan adanya hubungan antara penggunaan bahasa dan kesehatan manusia. Sebut saja misalnya pemberitaan kompas.com perihal pengaruh kegiatan belajar bahasa dan musik terhadap kesehatan otak.

Sesuai kabar yang disampaikan oleh media nasional tersebut, sebuah makalah yang dipublikasikan dalam jurnal Annals of New York Academy of Sciences telah mengupas sebuah hasil kajian yang meneliti hubungan antara bahasa dan musik dengan kesehatan otak. Hasil penelitian antara lain mengindikasikan adanya pengaruh positif penguasaan lebih dari satu bahasa terhadap kemampuan otak manusia.

Temuan itu menunjukkan bahwa musisi dan orang yang menguasai lebih dari satu bahasa membutuhkan lebih sedikit upaya untuk melakukan suatu tugas dibandingkan orang yang tidak menguasai keduanya. Diharapkan hasil itu akan mendorong pemikiran lebih lanjut terhadap kemungkinan penguasaan bahasa (dan musik) mampu menangkal demensia dan penurunan fungsi kognitif.

Saya tidak akan membahas lebih lanjut penelitian itu. Saya akan menerjemahkan makna berbahasa yang sehat secara sederhana saja. Bagi saya, menggunakan bahasa yang baik, yang membikin orang merasa gembira--saat kita bertutur kata atau menulis--sudah cukup menjadi sumbangan yang baik bagi kesehatan pendengar atau pembaca. Saya berusaha sedapat mungkin menghindari penggunaan istilah-istilah yang secara umum berkonotasi jelek dan cenderung merendahkan orang lain.

Tindakan itu bukan hanya kita lakukan ketika kita bertindak selaku subyek, misalnya menjadi pembicara atau penulis. Namun, kebiasaan menggunakan bahasa yang baik juga sangat diperlukan selagi kita berperan sebagai figuran seperti saat kita mengomentari tuturan atau tulisan orang lain.

Caranya cukup mudah. Kita hanya perlu membalik fungsi pelaku dan korban dalam sebuah interaksi. Ketika kita tidak ingin menjadi korban dalam suatu kasus, jangan menjadikan diri kita sebagai pelaku dalam kasus serupa.

Sebuah ungkapan bijak bisa menjadi acuan saat kita berkomunikasi menggunakan suatu bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Ungkapan bijak itu berbunyi, “Bicaralah yang baik atau diam saja”.

“Bicaralah yang baik atau diam saja”

Badan Bahasa telah mengangkat kembali semangat persatuan yang digaungkan para pemuda melalui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Badan ini juga telah mengingatkan pentingnya sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa negara.

Tentu kita tidak ingin membelokkan arah perjuangan kaum muda pada masa perjuangan dulu dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk memecah-belah komponen-komponen bangsa.

 

 

 

 

Ilustrasi Bahasa Apa

Kaurfastor Subbagyantor Yanma, Anda tahu makna deretan kata ini? Saya menemukan sederet kata aneh ini dalam sebuah pemberitaan media kemarin.

Perseteruan antara Kasat Sabhara dengan Kapolres Blitar sepertinya akan segera usai. Salah satu indikasinya terlihat saat mereka berpelukan. Semoga hubungan kedua pejabat Kepolisian itu akan semakin baik pada masa mendatang.

Di luar urusan pertikaian kedua pejabat yang sempat menjadi berita viral itu, saya menemukan hal yang cukup mencengangkan ketika membaca berita di kompas.com kemarin. Setiap kali membaca kabar mengenai Kepolisian, saya sering menemukan sejumlah “istilah asing”. Hal yang sama saya dapati ketika membaca berita seputar rekonsiliasi pejabat Polres Blitar itu.

Saya yakin, Anda telah akrab dengan kata ‘Kapolres’. Istilah ini kerap menghiasi pemberitaan media-media di Indonesia. Dalam pembicaraan sehari-hari pun, orang sering menyebut kata ini.

Bagaimana dengan istilah 'Kasat Sabhara'? Sepertinya kata ini tak sepopuler istilah Kapolres. Namun, dengan meraba-raba, mungkin kita bisa mengira-ngira artinya.

Kata kasat yang menjadi bagian dari istilah ini tidak berhubungan dengan kasatmata, lho. Kasat merupakan sebuah akronim yang sudah familier menjadi sebutan suatu posisi dalam organisasi. Kepanjangannya adalah Kepala Satuan.

Bagaimana dengan Sabhara? Istilah ini sudah lebih spesifik dibandingkan Kasat. Saya sempat berniat untuk mencari makna kata ini melalui mesin pencari.

Beruntung sekali saya mengingat KBBI. Dan kabar baiknya, kamus bahasa Indonesia itu telah memuat akronim yang satu ini. Menurut KBBI, Sabhara merupakan akronim untuk menyebut salah satu nama satuan dalam Kepolisian, yaitu Samapta Bhayangkara.

Akronim populer Kapolres sudah kita ketahui sejak lama. Akronim Kasat Sabhara telah pula kita pahami maknanya setelah melalui beberapa kali penelusuran. Kini, kita tiba pada “istilah asing” yang benar-benar asing di telinga.

Baca juga: Hari Olahraga Nasional dan Makna Kata Olahraga

Kaurfastor Subbagyantor Yanma

“Adapun Agus kini dipindahtugaskan ke Polda Jawa Timur sebagai Kaurfastor Subbagyantor Yanma.” Saya terenyak membaca kutipan berita kompas.com ini. Bukan soal pemindahtugasan Pak Agus dari Polres Blitar ke Polda Jawa Timur yang mengherankan saya.

Yang bikin saya tercengang adalah penyebutan sebuah istilah yang sangat asing di telinga saya: Kaurfastor Subbagyantor Yanma. Apa pula ini maksudnya?

Untung saja saya membaca berita ini sehingga saya tahu bahwa Kaurfastor Subbagyantor Yanma adalah sebutan untuk sebuah jabatan di Kepolisian. Jika saya menemukan deretan kata ini berdiri sendiri, saya akan menyangka bahwa kata-kata ini merupakan istilah asing yang berasal dari bahasa Thailand atau bahasa Rusia.

Rasa penasaran akan istilah “aneh” ini telah membawa saya kembali berseluncur dengan mengendarai sebuah mesin pencari yang terkenal sakti. Penelusuran yang saya lakukan menghasilkan sejumlah istilah yang tak kalah mencengangkan dibandingkan iatilah yang telah saya sebutkan, Kaurfastor Subbagyantor Yanma.

Coba perhatikan sederet kata “ganjil” ini: Subbagharbangling, Urrenmin, atau Urpamprot. Apakah Anda paham dengan istilah-istilah itu? Jika terus dicari, deretan akronim dalam institusi ini akan menjadi panjang sekali.

Mungkin kita bisa menduga-duga makna beberapa penggalan kata dalam istilah-istilah itu. Misalnya saja subbag. Namun penggalan-penggalan lainnya barangkali hanya Tuhan dan orang-orang di Kepolisian yang tahu.

Setelah melihat deretan akronim ajaib itu, saya menjadi tidak heran lagi dengan akronim-akronim “receh” semacam tilang, polantas, dan curanmor. Itu mah biasa banget.

Omong-omong, masih penasaran nggak sama Kaurfastor Subbagyantor Yanma? Kalau masih penasaran, saya kasih tahu maknanya. Kaurfastor Subbagyantor Yanma merupakan sederet akronim dengan kepanjangan masing-masing sebagai berikut:

  • Kepala Urusan Fasilitas Kantor (Kaurfastor)
  • Subbagian Pelayanan Kantor (Subbagyantor)
  • Pelayanan Markas (Yanma)

Baca juga: PilihKartu Member Koperasi atau Kartu Anggota Anu Mart?

Aturan Pembentukan Akronim

Mengutip “Buku Pintar EYD, Bahasa & Sastra Indonesia”, terdapat dua aturan dalam membuat akronim. Kedua aturan itu adalah:

  1. Jumlah suku kata akronim tidak melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia (tidak lebih dari tiga suku kata).
  2. Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata bahasa Indonesia yang lazim agar mudah diucapkan dan diingat.
Beberapa akronim yang saya tampilkan sebagai contoh di atas tidak memenuhi sebagian atau semua kaidah pembentukan akronim. Bila penggunaan akronim-akronim itu sebatas di kalangan internal, mungkin tidak akan menimbulkan masalah.

Namun, selain urusan dengan kaidah pembentukan akronim, ada satu hal yang mengusik pikiran saya. Dengan jumlah akronim yang sangat banyak dan panjang-panjang, apakah Kepolisian tidak bingung sendiri?

Apalagi kalau akronim-akronim itu telah menjadi bagian dari pemberitaan media. Tentu saja istilah-istilah itu akan menjadi konsumsi masyarakat. Saya membayangkan para pembaca atau pemirsa yang harus mengerutkan kening memikirkan makna istilah-istilah ajaib itu. Semoga tidak ada yang keliru mencarinya dalam kamus bahasa Thailand atau Rusia.

 

Ilustrasi meneladani guru

Apakah kita masih akan mendapati banyak anjuran untuk meneladani guru? Sebab hari ini kita memperingati Hari Guru Sedunia.

Sudah menjadi kebiasaan, banyak orang menganjurkan agar kita meneladani sosok orang yang memiliki keunggulan. Ucapan-ucapan mengenai keteladanan kerap mencuat pada hari peringatan peristiwa tertentu.

Misalnya pada Hari Kartini tanggal 21 April yang lalu, kita banyak menemukan ucapan atau tulisan yang mengajak masyarakat meneladani Ibu Kartini yang bertebaran di berbagai media. Serupa dengan Hari Kartini, tanggal 10 November nanti, mungkin akan banyak kita temui ajakan meneladani sikap para pahlawan.

Nah, hari ini merupakan Hari Guru Sedunia. Saya menduga pada hari ini akan bertebaran ucapan-ucapan terkait peringatan tersebut. Barangkali salah satu bentuk ucapan itu berupa imbauan untuk meneladani guru.

Apakah hal itu keliru? Soal keliru atau tidak, tergantung pada sisi mana kita melihatnya.

Baca juga: “MenghembuskanNafas”, Dua Kesalahan dalam Satu Ungkapan

Makna Kata Meneladani

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberi makna kata meneladani sebagai memberi teladan. Sementara itu, kata teladan mengandung arti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dan sebagainya).

Mengacu kepada kedua makna kata menurut KBBI tersebut, kita bisa mengatakan bahwa kata meneladani berarti memberi sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh. Lalu bagaimana penerapannya dalam penuturan sehari-hari?

Banyak contoh kalimat yang mengandung kata meneladani tidak sejalan dengan pengertian kata ini. Makna yang muncul dari kebanyakan ucapan tidak sesuai dengan maksud orang yang mengucapkan kalimat dimaksud.

Saya mengambil contoh sebuah kalimat yang diucapkan oleh seorang tokoh saat peringatan Hari Kartini bulan April lalu. "Perempuan-perempuan era sekarang harus meneladani sikap dan sifat yang dimiliki oleh RA Kartini, khususnya dalam hal keuletannya untuk menuntut ilmu."

Jika kita melihat kembali makna kata meneladani yang disampaikan oleh KBBI, maka sang tokoh mengharapkan agar para perempuan era sekarang memberi contoh kepada RA Kartini. Benarkah demikian?

Seandainya benar yang dimaksudkannya seperti ini, lalu bagaimana caranya RA Kartini mencontoh perempuan-perempuan masa kini? Bukankah Ibu Kartini telah lama wafat sebelum perempuan-perempuan itu lahir?

Mari kita perhatikan kalimat lain yang disampaikannya dalam kesempatan yang sama. “Sikap dan sifat yang dimiliki oleh RA Kartini sangat patut dicontoh untuk perempuan masa kini.”

Bila kita cermati pernyataan yang kedua, kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh sang tokoh mestinya para perempuan zaman kini seharusnya mencontoh RA Kartini, bukan sebaliknya. Karena menurutnya, RA Kartini patut menjadi contoh bagi perempuan masa kini.

Lantas, Bagaimana Seharusnya?

Terdapat banyak alternatif untuk menyampaikan ungkapan tersebut. Alternatif yang akan kita pakai bisa tetap menggunakan pola kalimat yang sama, bisa juga berbeda.

Jika menggunakan pola kalimat yang sama, kita hanya perlu mengganti kata meneladani dengan kata meneladan. Sesuai penjelasan KBBI, meneladan berarti mencontoh atau meniru.

"Perempuan-perempuan era sekarang harus meneladan sikap dan sifat yang dimiliki oleh RA Kartini, khususnya dalam hal keuletannya untuk menuntut ilmu."

Bila kita ingin tetap menggunakan kata meneladani, kita bisa mengubah bentuk kalimat itu menjadi kalimat pasif. Hanya saja, bentuk kalimat pasif akan mengubah subyek kalimat.

"Melalui sikap dan sifat yang dimilikinya, khususnya dalam hal keuletannya untuk menuntut ilmu, RA Kartini bisa meneladani perempuan-perempuan era sekarang."

Baca juga: Nasib Pedestrian yang Serupa dengan Busway

Uji dengan Sinonim

Untuk meyakini penggunaan kata yang benar, kita bisa menguji kalimat itu menggunakan sinonim kata teladan. Terdapat beberapa sinonim kata meneladani yang saya peroleh dari Kamus Tesaurus terbitan Badan Bahasa. Satu di antara sinonim meneladani adalah memandu.

Kita coba menggunakan kata memandu.  "Perempuan-perempuan era sekarang harus memandu sikap dan sifat yang dimiliki oleh RA Kartini, khususnya dalam hal keuletannya untuk menuntut ilmu."

Nah, makna kalimat itu semakin terlihat tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh sang penutur. 

Sementara itu, kata meneladan memiliki cukup banyak sinonim. Sinonim kata meneladan yang dimunculkan dalam Kamus Tesaurus antara lain mencontoh, mengikuti, meniru, menjiplak, menurut, dan menyerupai.

Penggunaan sinonim-sinonim itu memang harus menyesuaikan dengan konteks kalimatnya. Namun, kita bisa melihat bahwa secara umum penggunaan sinonim-sinonim itu untuk menggantikan kata meneladan tidak mengubah makna kalimat.

Berkaitan dengan Hari Guru Sedunia yang diperingati hari ini, manakah di antara kalimat di bawah ini yang benar?

1. Murid meneladani guru.

2. Guru meneladani murid.

Keduanya bisa benar dan bisa salah, bergantung pada makna yang diinginkan oleh si pembuat kalimat. Jika guru memiliki sikap yang pantas menjadi teladan, maka kalimat kedua layak kita ucapkan.

Tak jarang kita menemukan sosok guru yang rendah hati. Sang guru mengatakan, “Meskipun saya seorang guru, tetapi saya meneladani murid-murid saya.”

Maaf, Pak Guru. Kalau Bapak hendak mengatakan bahwa Bapak belajar dari murid-murid, seharusnya Bapak menggunakan kata meneladan dalam kalimat yang Bapak sampaikan.

Namun, jika Bapak menyatakan hal itu, tentu saja kami akan merasa sangat malu. Kami tidak pantas meneladani guru. Kami yang seharusnya meneladan para guru.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Mencari Artikel

Artikel Populer

  • Mencari Hikmah di Balik “Musibah”, Sebuah Catatan Kelahiran Blog “Ulas Bahasa”
    Antusias sekali saya menyambut sebuah pelatihan bertajuk “Kelas Menulis Blog”. Kelas ini memang telah cukup lama saya nanti-nantikan. Dua ...
  • Mengapa Orang Keranjingan Mengucapkan Kata “Dirgahayu”?
      Bulan Agustus merupakan bulan naik daunnya kata “dirgahayu”. Dan hari Senin, tanggal 17 Agustus 2020 ini merupakan puncak berseraknya kata...
  • Sulitnya Mengganti Istilah Chatting dalam Bahasa Indonesia
    Rasanya sulit mengganti istilah chatting dalam bahasa Indonesia. Dalam komunikasi masa kini, kata bahasa Inggris ini hampir selalu hadir da...

Arsip

  • Maret (1)
  • Februari (1)
  • Januari (2)
  • Desember (1)
  • November (1)
  • Oktober (5)
  • September (7)
  • Agustus (11)

Berlangganan Artikel

Advertisement

Copyright © 2021 Ulas Bahasa. Created by OddThemes